Si Pandai dan Sang Sahabat

si PANDAi dengan langkah tegap menyusuri jalan setapak, menuju sebatang pohon besar yg rindang….. disana tampak sosok pribadi yg dikenalnya, dan si PANDAi pun menghampiri pribadi itu.

Si Pandai: maaf kisanak, sepertinya aku mengenalmu, apa kita pernah bertemu ?
Sang Sahabat: saudaraku, aku sahabat masa keciLmu, sahabat di desa tempat kelahiran kita.
Si Pandai: ah, sekampung kita rupa nya… bagaimana keadaan kampung kita ?
Sang Sahabat: saudaraku, aku meninggalkan kampung halaman bersamaan dgn ketika kamu berangkat ke kota ini.
Si Pandai: oh begitu, apa saja yg sudah kau dapatkan di kota ini?
Sang Sahabat: kamu sendiri bagaimana ?
Si Pandai: ya, kota ini telah memberikan segala keLimpahan kemewahan yg menyenangkan kepadaku…
Sang Sahabat: oh begitu, bagaimana cara nya ?
Si Pandai: ah, kemana saja kamu ini, di kota ini apa sih yg tidak mungkin kudapatkan ? asal aku mau menyenangkan mereka, dengan sedikit saja basa basi dunia… mereka pun akan memberikan lebih kepada ku.
Sang Sahabat: apapun cara nya ?
Si Pandai: ah, jangan sok alim lah… aku pun tidak memakannya sendirian, yg kulakukan ini mata rantai yg tidak merugikan siapa pun… mereka senang, aku senang, buktinya mereka pun selalu menyanjung ku
Sang Sahabat: apa kau yakin, tidak ada yg dirugikan ?
Si Pandai: yaaah… kaLopun ada tapi sedikit lah…itu pun mereka yg mau, lagipula aku sudah berikan banyak hartaku utk mereka…
Sang Sahabat: apa kamu lupa dengan batas waktu mu ?
Si Pandai: ah, itu soal nanti lah…gak perlu dipusingkan, mereka selalu mendo’akan ku… dan aku pun selalu siap utk bertobat jika batas waktuku akan habis…
Sang Sahabat: bgmn kau tahu waktu mu akan seLesai ?
Si Pandai: yah…biasanya setelah kita terbaring sakit. Nah kisanak, kamu sendiri bagaimana ?
Sang Sahabat: saudaraku, sebelum hari ini aku selalu ada bersama mu… tapi kamu tak meLihat ku dan tak pernah mau mendengarkan aku. Hari ini, aku harus tertahan di pohon besar ini, menunggu cerita yg harus aku seLesaikan…bersamamu !!!
Si Pandai: oh ?! maksud mu ???
Sang Sahabat: saudaraku, lihat dibelakang-mu….. batu nisan mewah itu….. bertuLiskan namamu…..!

Sahabat, seringkali kita terlena dengan kehidupan yang bergulir ini. Detik demi detik hingga masa demi masa kita lewati, tanpa sadar ada banyak terminal-terminal dalam kehidupan ini yang kita lalui. Sejenak mari kita renungkan apa arti kehidupan kita di dunia ini. Sekedar mencari nafkahkah? atau kebahagian bersama orang-orang yang kita cintai.

Sahabat, mumpung masih ada waktu. Mari kita berbagi dengan mereka orang-orang yang kita cintai, dan orang-orang yang mencintai kita. Lakukanlah apa yang ingin anda lakukan supaya penyesalan tiada menghampiri kita sebelum datang waktu yang menjadi rahasia kehiduapn kita.

Saya yakin, kalau setelah mati kita akan memperoleh balasan akan apa yang kita perbuat. oleh karena itu, persiapkanlah sejak kini. Carilah bekal dan berikan kebahagiaan kepada orang-orang disekitar kita.

Memelihara Persahabatan........

Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya... Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya. Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.

Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan
tujuan sahabatnya mau berubah.

Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia beriinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis. Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.

Beberapa hal seringkali menjadi penghancur persahabatan antara lain :

1. Masalah bisnis UUD (Ujung-Ujungnya Duit)
2. Ketidakterbukaan
3. Kehilangan kepercayaan
4. Perubahan perasaan antar lawan jenis
5. Ketidaksetiaan.

Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinya.

Renungkan :
**Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri "Dalam masa kejayaan, teman2 mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman2 kita."**

Ingatlah kapan terakhir kali anda berada dalam kesulitan.
  • Siapa yang berada di samping anda ??
  • Siapa yang mengasihi anda saat anda merasa tidak dicintai??
  • Siapa yang menjadi tameng untuk urusan rahasia Anda, diwaktu ada masalah dengan keluarga anda.??
  • Siapa yang ingin bersama anda pada saat tiada satupun yang dapat anda berikan ??
Merekalah sahabat2 anda.
Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka.

Ciri-ciri seorang sahabat yang baik?

Apakah ciri-ciri seorang sahabat yang baik? Seorang bijak pandai berpesan kepada anak lelakinya: “Wahai anakku, sekiranya engkau berasa perlu untuk bersahabat dengan seseorang, maka hendaklah engkau memilih orang yang sifatnya seperti berikut:
  • Jika engkau berbakti kepadanya, dia akan melindungi kamu;
  • Jika engkau rapatkan persahabatan dengannya, dia akan membalas balik persahabatan kamu;
  • Jika engkau memerlu pertolongan daripadanya, dia akan membantu kamu;
  • Jika engkau menghulurkan sesuatu kebaikan kepadanya, dia akan menerimanya dengan baik;
  • Jika dia mendapat sesuatu kebajikan (bantuan) daripada kamu, dia akan menghargai atau menyebut kebaikan kamu;
  • Jika dia melihat sesuatu yang tidak baik daripada kamu, dia akan menutupnya;
  • Jika engkau meminta bantuan daripadanya, dia akan mengusahakannya;
  • Jika engkau berdiam diri (kerana malu hendak meminta), dia akan menayakan kesusahan kamu;
  • Jika datang sesuatu bencana menimpa dirimu, dia akan meringankan kesusahan kamu;
  • Jika engkau berkata kepadanya, nescaya dia akan membenarkan kamu;
  • Jika engkau merancangkan sesuatu, nescaya dia akan membantu kamu;
  • Jika kamu berdua berselisih faham, nescaya dia lebih senang mengalah untuk menjaga kepentingan persahabatan.
  • Dia membantumu menunaikan tanggungjawab serta melarang melakukan perkara buruk dan maksiat
  • Dia mendorongmu mencapai kejayaan didunia dan akhirat.

Pentingkah Arti Sahabat?

Pada setiap kehidupan seseorang, pasti akan membutuhkan teman yang bisa berbagi disaat susah maupun senang. Sahabat memang memiliki peran yang bisa membuat hidup menjadi lebih berwarna. Tetapi kehadiran sahabat bukanlah untuk menggantikan posisi pasangan atau kekasih anda. Saat anda memiliki teman yang baik, bukan hadiah atau bingkisan atau kado yang mereka inginkan. Tetapi perhatian dan kesabaran yang mereka butuhkan. Terkadang sahabat juga butuh didengarkan, baik itu senang maupun dalam duka. Jadi apabila anda memiliki sahabat, maka persiapkan waktu dan kesabaran yang cukup untuk mendengarkan segala masalah serta keluh kesah yang mereka rasakan.

Sahabat akan membantu memecahkan permasalahan yang sedang anda hadapi. Atau mungkin hanya sekedar membicarakan masalah pekerjaan atau kehidupan yang terjadi di sekitar anda. Begitu pula dengan sang sahabat, mereka juga ingin anda melakukan hal yang sama. Membagi cerita-cerita yang lucu juga bisa membuat kedekatan anda dengan sang sahabat.

Variasi ataupun warna-warni kehidupan bisa diberikan oleh sahabat kepada anda. Menghabiskan waktu bersama sahabat akan merelaksasikan kepenatan anda setelah melakukan aktivitas kantor yang padat setiap hari. Mungkin anda bisa makan malam bersama, window shopping akan menciptakan kedekatan yang lebih menyenangkan.

Berikanlah sedikit kejutan dan perhatian kepada sahabat agar lebih dekat. Meskipun anda berada jauh dari sahabat, bukan berarti anda melupakannya kan? Anda tetap bisa berkomunikasi lewat internet, telpon ataupun sms. Tapi sebaiknya anda jangan sampai lupakan sang kekasih karena bisa-bisa dia cemburu lagi.

Persahabatan

Mencari persahabatan itu seperti kita memasukkan benang dalam lubang jarum. Sulitnya mencari seorang sahabat itu bisa digambarkan ketika kita berusaha memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Ada saja halangan atau kendala saat kita berusaha memasukkan benang dalam jarum, ada angin, mata kita yang kurang fokus, tempat yang kurang terang dan lain-lain.

Namun setelah kita berhasil melawan kendala yang ada, akhirnya benang bisa masuk ke dalam jarum, itulah saat-saat yang menggambarkan bahwa kita telah berhasil mendapatkan seorang sahabat. Setelah jarum dan benang telah bersatu, tibalah saatnya kita merajut..dalam hal ini kita sebagai jarum dan sahabat kita sebagai benang, bersama-sama merajut peristiwa-peristiwa manis dan indah sehingga menjadi rajutan indah berupa kenangan terindah di hidup kita….

Itulah Sahabat, seseorang yang kita peroleh dari pengorbanan dalam kehidupan kita. Yang awalnya pahit namun berakhir manis

Arti Sebuah Cinta

Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad r. Allah I berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah r dalam haditsnya dari shahabat Tsauban z mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah r berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah r menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah I memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah r, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah r maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah r bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik z:
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah I.
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah I. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah I berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah r adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah I berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah I berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah I berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di t menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam.

Kuserahkan Diriku Kepada-Mu Ya Allah

Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Sungguh sangat tidak pantas bila ada orang yang menyombongkan diri tidak butuh dengan pertolongan Allah. Berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit merupakan jalan menuju keselamatan.

Menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah I kita kenal dengan istilah tawakkal. Jadi, tawakkal adalah menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah dalam mengambil segala macam manfaat dan menolak segala macam mudharat. Tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allah I dan merupakan ibadah hati yang kebanyakan orang terjatuh dalam kesalahan yaitu syirik kepada Allah I dari sisi ini. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Madarijus Salikin (2/14) menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad t berkata: “Tawakkal adalah amalan hati. Allah I berfirman:

“Kepada Allah-lah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Mengapa Harus Tawakkal

Bila kita memegang konsep Qadariyyah (kelompok yang menolak takdir Allah I atau berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan sendiri yang tidak terkait dengan kekuasaan dan kehendak Allah), maka kita akan mengatakan: “Untuk apa kita tawakkal padahal kita memiliki kemampuan.” Tentu konsep seperti ini adalah konsep yang batil. Atau seperti yang diucapkan oleh Qarun dengan keangkuhannya:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)

Sehingga ia tidak butuh kepada tawakkal. Tentunya yang benar tidak seperti itu.
Tawakkal di samping sebagai perintah Allah I juga merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Bagaimana itu? Marilah kita berlaku jujur terhadap diri kita, yaitu bahwa kita diciptakan oleh Allah I dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Lemah tubuhnya, lemah keinginannya, lemah kesungguh-sungguhannya, lemah imannya, dan lemah kesabarannya. Oleh karena itu pantaslah Allah I meringankan (aturan syariat) yaitu perkara yang dia tidak sanggup untuk memikulnya dan tidak sanggup untuk dipikul oleh keimanannya, kesabarannya dan kekuatannya.”
Apakah kita bisa berbuat dengan kelemahan itu tanpa bantuan dari Allah I? Jawabnya tentu saja tidak. Oleh karena itu bila berbuat sebagai sarana untuk mendapatkan yang diinginkan tidak akan bisa dilakukan melainkan dengan bantuan Allah, bagaimana lagi bisa memetik hasil sebagai tujuan dari usaha tersebut tanpa bantuan dari Allah I. Allah I berfirman:


“Dan Allah hendak menerima taubat kalian sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 27-28)

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah kemudian menjadikan kalian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakinya dan Dialah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.” (Ar-Rum: 54)
Ayat di atas sangat jelas sebagai bantahan terhadap konsep Qadariyyah yang memiliki kesombongan terhadap kekuatan yang ada pada dirinya dan ingin melepaskan diri dari Allah I. Oleh karena itu untuk apa engkau menyerahkan diri dan urusanmu kepada kemampuan diri sendiri padahal dirimu lemah tidak berdaya? Qarun dengan kemampuannya menumpuk harta yang diberikan Allah I dan menyandarkan semua wujud keberhasilannya kepada ilmunya, pada akhirnya harus menelan kepahitan hidup yang di saat itu ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan tidak bisa menelurkan idenya agar bisa kembali berbahagia dengan harta dan pendukungnya. Bukankah pengetahuan kita terbatas? Allah I menjelaskan:
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Semua ini menggambarkan kepada kita tentang sangat butuhnya kita kepada Allah I dan tidak akan mungkin meski sekejap mata untuk terlepas dari Allah I. Terlebih lagi kita berasal dari sifat kelemahan dan tidak mengetahui apa-apa.

Kedudukan Tawakkal dalam Agama

Tawakkal memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, bagaikan kepala terhadap jasad. Bahkan tawakkal merupakan cerminan iman dan syarat keimanan seseorang. Allah I berfirman:

“Kepada Allahlah kalian bertawakkal (menyerahkan diri) jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Allah I juga berfirman:
“Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Rasulullah r bersabda:
“Suatu kaum masuk ke dalam al-jannah (surga) di mana hati-hati mereka bagaikan hati-hati burung.” (Shahih, HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Sebagian ulama memberikan makna hati mereka bagaikan hati burung’ adalah orang-orang yang bertawakkal.” (Riyadhush Shalihin)
Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat dari iman, menunjukkan bahwa tidak ada iman ketika tidak ada tawakkal. Dan dalam ayat yang lain Allah I berfirman: “Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)
Allah I menjadikan keshahihan (kebenaran) Islamnya (seseorang) adalah dengan tawakkal. Dan tatkala tawakkal seorang hamba kuat, imannya akan menjadi lebih kuat dan apabila tawakkalnya lemah maka ini bukti bahwa imannya lemah dan mesti terjadi. Allah telah menghimpun (di dalam Al Qur’an) antara tawakkal dan ibadah, tawakkal dan iman, tawakkal dan takwa, tawakkal dan Islam dan antara tawakkal dan hidayah. (Thariqul Hijratain, hal. 327)
Allah I berfirman dalam Al Qur’an yang menjelaskan pertolongan-Nya, pembelaan-Nya, dan kecukupan yang akan diberikan-Nya kepada orang yang bertawakkal:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tawakkal Diiringi dengan Usaha

Tawakkal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk kekurangan dan kejelekan agama seseorang, sebagaimana kita ketahui bahwa tawakkal tidak bisa lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas. Nu’man Al-Watr menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah: “Ibnu Taimiyyah t mengatakan: ‘Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakkal) termasuk corengan terhadap syariat-Nya dan menyandarkan diri kepada sebab-sebab itu termasuk kesyirikan kepada Allah.’ Ibnul Qayyim t mengatakan: ‘Termasuk sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakkal’.” (Syarah Al-Qaulul Mufid, hal. 62)
Ibnul Qayyim t mengatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakkal) maka tawakkalnya belum lurus. Akan tetapi termasuk dari kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong kepada sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.” Kemudian setelah itu beliau mengatakan: “Dan tidak akan tegak dan bernilai dalam menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakkal.” (Madarijus Salikin, 2/120)
Dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal itu harus dibarengi dengan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Umar Ibnul Khathtab z:

“Bila kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana dia memberikan rizki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5254)

Tawakkal dan Macam-macamnya

Tawakkal sebagai satu bentuk ibadah tentu memiliki celah bagi seseorang untuk bermaksiat di dalamnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Oleh karena itu para ulama membagi tawakkal menjadi beberapa bagian:
Pertama, tawakkal ibadah.
Yaitu tawakkal yang membuahkan ketundukan dan pengagungan serta kecintaan dalam mencari segala manfaat dan menolak segala bentuk mudharat. Tawakkal ini hanya diberikan kepada Allah semata.
Kedua, tawakkal syirik.
Yaitu tawakkal ibadah yang diberikan kepada selain Allah dan ini termasuk syirik besar. Barangsiapa memberikannya kepada selain Allah, maka dia telah keluar dari Islam, telah musyrik dan kafir.
Apabila seseorang menyandarkan dirinya dengan bertawakkal dalam hatinya kepada selain Allah dalam masalah rizki dan kehidupannya maka ini termasuk syirik kecil. Jenis tawakkal seperti ini diistilahkan oleh sebagian ulama dengan syirik khafi (yang tersembunyi).
Ketiga, tawakkal yang diperbolehkan.
Yaitu menyerahkan satu bentuk urusan kepada orang lain dan orang tersebut mampu untuk melakukannya, maka hal ini diperbolehkan1. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r ketika menyerahkan tugas untuk menyembelih apa yang masih tersisa dari hewan qurban beliau kepada ‘Ali bin Abi Thalib z sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Muslim, dari shahabat Jabir bin ‘Abdullah z. Juga sebagaimana beliau menyerahkan tugas penjagaan harta zakat fithri kepada Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga sebagaimana beliau telah mewakilkan kepada ‘Urwah bin Al-Ja’d z untuk membeli binatang qurban.
Walhasil, tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang terkait dengan hati, yang memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama. Tawakkal tidak akan sempurna melainkan harus disertai dengan ikhtiar (usaha) dengan menjalankan sebab-sebabnya. Tawakkal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan iman, Islam, ibadah, hidayah dan takwa. Wallahu a’lam. ?

Jangan kau Duakan Ibadahmu

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada jaman jahiliyyah saat Rasulullah belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan pada pelakunya kecuali ia telah bertaubat.

Dalam beberapa edisi yang telah lalu, telah dibahas permasalahan seputar aqidah, terutama kaitannya dengan pembahasan bagaimana seseorang bisa memperbaiki hubungannya dengan Allah I atau yang diistilahkan dengan ibadah. Pada edisi mendatang insya Allah I, akan dibahas suatu permasalahan yang sangat besar yang bisa menjadikan peribadatan seseorang menjadi amalan yang sia-sia bahkan bisa menjadi adzab baginya. Itulah lawan dari ibadah yaitu syirik.
Untuk mengawali pembahasan seputar syirik, pada edisi ini akan dipaparkan sejarah kemunculan syirik yang terjadi pada umat manusia. Sementara bagaimana hakikat kesyirikan itu sendiri, jenis-jenisnya, serta pengaruhnya dalam kehidupan sebagai individu, masyarakat, dan bernegara, akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah I. Selain itu, kajian mendatang juga akan membongkar praktek syirik yang berkembang di masyarakat.

Awal Terjadinya Kesyirikan
Allah I menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah I mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al Qur’an, Allah I menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikitpun dari rizki. Dan Aku tidak menginginkan sedikitpun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rizki, Pemilik kekuatan lagi Sangat Kkokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah I limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.
Dengan tugas ini, bukan berarti Allah I butuh kepada hamba sehingga sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah I. Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak butuh kepada-Nya. Oleh karena itu Allah I menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah I. Itulah ibadah.
Amanah ibadah ini diakui oleh semua orang, namun dalam prakteknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah I kepada tiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori tentu akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah I. Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah I menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30)

Rasulullah r bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah z)

Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.
Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah I menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah. Dan di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.
Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sesuai kehendak sendiri, melaksanakan apa yang diinginkan dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada.
Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan apakah yang terbesar menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah I menerangkan dalam firman-Nya:
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31)

Kesyirikan di Masa Nabi Nuh u
Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah Imenjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh u. Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh u.
Ibnu ‘Abbas c berkata ketika menafsirkan firman Allah I:
“Dan mereka berkata, jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)

“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh u telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal. Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’). Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama orang-orang shalih pada kaum Nabi Nuh u. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/ gambar di majelis-majelis mereka dan setan memerintahkan: ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang shalih tersebut).’
Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4599)
Inilah kerusakan yang paling besar dan pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh u. Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah I. Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah r sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dsb. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah r sehingga harus terwarnai hidup mereka dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah I dan kecintaan kepada wali-wali Allah I.
Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah r di dalam haditsnya:

“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah r
Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah I. Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah r bersabda:

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no.3952 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari shahabat Tsauban)
Sebelum Rasulullah r diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah Al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i, seorang raja di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, shalih, dsb.
Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh u. Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga menjadikan kesyirikan masuk ke negeri Hijaz dan negeri lainnya.

Rasululllah r bersabda tentang ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i:

“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari shahabat Abu Hurairah z , lihat Syarah Masail Al-Jahiliyyah karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, hal. 12)

Islam dan Syirik
Syirik merupakan satu praktek ibadah kepada selain Allah I. Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah I dalam segala wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah Ikepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kedzaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah U.
Allah U berfirman:

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan dan agama yang terang benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah U sebagai agama nikmat yang telah diridhainya.

“Pada hari ini aku sempurnakan agama kalian dan aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

“Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 84)
Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kedzaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al Qur’an dan As Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikitpun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kedzaliman, kegagalan dan kehancuran dunia akhirat.
Wallahu a’lam

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita…." (An-Nisa: 34)
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:
اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
"Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
"Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali 'Imran: 159)
Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik." (An-Nisa: 19)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: "Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf." (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku)."
Termasuk akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak 'Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: "(Termasuk cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat 'Isya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
"Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: "Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan." (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan:
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
"Hendaklah engkau bersikap lembut ." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
"Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
"Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya." (Shahih, HR. Muslim no. 2593)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.
Al-Qadhi berkata: "Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya." (Syarah Shahih Muslim, 16/145)
Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. 'Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:
"Majulah kalian (jalan duluan)". Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada 'Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): "Ayo, kita berlomba lari". Kata Aisyah: "Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau". Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama 'Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: "Majulah kalian". Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: "Ayo, kita berlomba lari". Kata 'Aisyah: "Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku". Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: "Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red)." (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).
Allah ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.
المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
"Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan."
Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri)." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
"Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya."
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata: "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah."
Beliau melanjutkan: "Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya." (Fathul Bari, 9/306)
Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: "Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya". Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)
Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian." (Ar-Rum: 21)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya." (Al-A`raf: 189)
Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

Allah Selalu Bersamamu

Salah satu bekal yang penting diberikan para orang tua kepada anak-anaknya adalah upaya menumbuhkan rasa optimis pada diri anak dalam menghadapi kehidupan yang sarat dengan problema. Cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengenalkan pada anak akan pertolongan Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Anak perlu dipahamkan bahwa bila Allah telah memberikan pertolongan-Nya, maka permasalahan seberat apapun akan bisa diselesaikan.

Anak, dengan segala keunikan yang ada pada pribadinya, tidak terlepas dari permasalahan, baik berkenaan dengan dirinya, tempat belajarnya, ataupun orang-orang di sekelilingnya. Begitu pun sisi berat ringannya permasalahan yang dihadapi berbeda-beda antara satu anak dengan yang lainnya. Tak jarang dijumpai dalam keseharian anak-anak yang begitu penakut terhadap segala sesuatu yang tak pantas dikhawatirkan. Semua itu terkadang membuat orang tua berkerut dahi, dengan jalan apa kiranya mengatasi hal-hal semacam ini?
Jika demikian, tentu sang anak membutuhkan bekal untuk menghadapi setiap problema yang dihadapinya. Dia membutuhkan bimbingan agar senantiasa merasakan pengawasan Rabb-nya, meminta hanya kepada-Nya, disertai keyakinan yang kokoh terhadap ketetapan dan takdir-Nya.
Ketika itulah selayaknya orang tua melihat kembali, bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan optimisme dan kebesaran jiwa pada diri anak, agar menghadapi gelombang kehidupan ini dengan keberanian dan penuh harapan, hingga kelak mereka menjadi sesosok pribadi yang bermanfaat bagi umat ini. Beliau pesankan kepada putra pamannya, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 'anhuma:
يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ. احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ. إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ. رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ. رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
وَفِي رِوَايَةِ غَيْرِ التِّرْمِذِي: احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ. تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنََّ الفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْرًا
“Wahai anak(ku), sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudharat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan menimpamu. Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan beliau berkata: hadits hasan shahih).1
Dan dalam riwayat selain At-Tirmidzi: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, niscaya Dia akan mengenalimu dalam keadaan susah. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah, pertolongan itu berrsama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
Inilah kalimat yang agung dan mulia dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seakan beliau mengatakan: Jagalah batasan-batasan dan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, juga dengan mempelajari agama-Nya hingga engkau dapat menunaikan ibadah dan muamalahmu. Jagalah semua itu, niscaya Dia akan menjaga agama, keluarga, harta maupun dirimu, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik atas kebaikannya. Sementara balasan yang paling penting adalah penjagaan-Nya terhadap agamamu serta menyelamatkan dirimu dari kesesatan.
Sebaliknya, seseorang yang menelantarkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan menelantarkan dirinya dan dia tidak berhak mendapatkan penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
Pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini juga memberikan pelajaran pada seorang anak untuk meminta ataupun memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, tidak memintanya kepada makhluk. Karena Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Namun, tidak terlarang untuk meminta pertolongan kepada makhluk pada hal-hal yang mampu dia lakukan. Kalaupun dia harus meminta sesuatu atau mencari pertolongan kepada makhluk, maka sesungguhnya makhluk itu hanyalah sebab dan Allahlah yang menciptakan sebab, hingga kepada-Nyalah harus bersandar.
Demikian pula segala kebaikan yang diberikan dan bahaya yang ditimpakan oleh makhluk, semuanya telah ditetapkan oleh Allah. Namun, bukan berarti seseorang tidak diperkenankan untuk menolak bahaya dari dirinya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan yang semisal.” (Asy-Syura: 40)

Oleh karena itu, seorang hamba harus menggantungkan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak berpaling sedikit pun kepada makhluk, karena makhluk tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memberi manfaat maupun menimpakan bahaya.
Begitu pun nasihat ini berisi anjuran untuk menunaikan hak Allah di saat lapang, sehat dan berkecukupan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalinya ketika berada dalam kesusahan, hingga Dia ringankan penderitaannya, menolong dan menghilangkan kesusahannya itu.
Ditemui pula pengajaran pada sang anak bahwa apa pun yang ditetapkan akan menimpa tak akan dapat ditolak. Dan apa pun yang tidak ditetapkan tak akan bisa diraih, karena Allah telah menetapkan semua itu.
Di dalam nasihat ini juga terdapat anjuran agar bersabar untuk memperoleh pertolongan. Kesabaran ini mencakup sabar untuk taat kepada Allah, sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, dan sabar di atas ketetapan Allah yang ‘menyakitkan’ (menurut manusia, red). Inilah kabar gembira bagi orang yang bersabar, karena pertolongan akan mengiringi kesabaran. Inilah kabar gembira bahwa kelapangan itu mengiringi kesusahan. Hendaknya pula ketika ditimpa kesulitan, seorang hamba bersandar diri kepada Allah dengan menanti-nantikan kemudahan dari Allah serta membenarkan janji Allah, karena Allah telah mengatakan di dalam Kitab-Nya yang mulia:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Alam Nasyrah: 5-6)[Dirangkum dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah2]
Di waktu yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan nasihat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
المُؤْمِنُ القَوِي خَيْْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِِ الضَعِيْفِ. وَفِي كُلٍّ خَيْر.ٌ اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ. فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing dari keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, serta jangan merasa lemah. Apabila engkau ditimpa sesuatu, janganlah mengatakan ‘Seandainya aku dulu melakukan begini dan begini’, namun katakanlah ‘Ini adalah takdir Allah, dan apa pun yang Allah kehendaki pasti Allah lakukan’ karena ucapan ‘seandainya’ itu membuka amalan setan.” (HR. Muslim no. 2664)
Yang dimaksud dengan kuat dalam ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah jiwa yang kokoh dan bersemangat terhadap perkara akhirat. Sehingga orang yang seperti ini menjadi orang yang paling pemberani terhadap musuh, paling cepat bertolak ke medan jihad, paling teguh dalam memerintahkan orang lain pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, dan bersabar dalam menempuh semua itu, serta tabah dalam menempuh kesusahan karena mengharap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia pun menjadi orang yang paling senang menunaikan shalat, puasa, dzikir, maupun seluruh ibadah, bersemangat pula untuk menjalankan dan menjaganya. Akan tetapi, baik orang yang kuat maupun orang yang lemah memiliki kebaikan karena mereka sama-sama beriman, juga karena ibadah yang dilakukan oleh orang yang lemah itu.
Dianjurkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk mendapatkan itu semua. Hendaknya seorang hamba tidak merasa lemah dan malas untuk mencari amalan ketaatan dan memohon pertolongan dari-Nya. (Syarh Shahih Muslim)
Inilah yang semestinya tergambar dalam sosok pribadi seorang anak. Tak ada salahnya bila suatu ketika orang tua menuturkan kisah-kisah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang perjalanan hidup orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kemuliaan, yang sarat dengan optimisme dan keyakinan kepada Rabb-nya. Karena anak senang dengan cerita dan biasanya berbekas dalam jiwanya. Salah satunya dituturkan oleh Shuhaib bin Sinan radhiallahu 'anhu3 dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dulu hidup seorang raja yang memiliki seorang tukang sihir. Ketika usia tukang sihir itu telah menua, ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku ini telah tua, maka utuslah padaku seorang pemuda yang dapat kuajari sihir.” Lalu raja pun mengirim seorang pemuda untuk diajari sihir. Di tengah jalan yang biasa dilalui pemuda itu menuju tukang sihir ada seorang rahib. Pemuda itu singgah duduk dan mendengarkan ucapan sang rahib. Dia pun merasa takjub. Maka demikianlah bila dia mendatangi tukang sihir, dia melewati rahib lalu duduk di hadapannya. Bila tiba di hadapan tukang sihir, tukang sihir itu pun memukulnya. Dia adukan hal itu kepada rahib. Si rahib menjawab, “Kalau engkau khawatir terhadap tukang sihir, katakan padanya ‘Keluargaku menahanku’, dan kalau engkau khawatir terhadap keluargamu, katakan ‘Tukang sihir menahanku’.”
Demikian terus berlangsung sampai suatu saat, muncul seekor binatang besar yang menghalangi jalan manusia. Pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah rahib.” Lalu diambilnya sebuah batu sambil berkata, “Ya Allah, bila ajaran rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, matikanlah binatang ini, hingga manusia dapat lewat kembali.” Dilemparnya binatang itu hingga akhirnya mati dan orang-orang pun dapat melewati jalan itu lagi.
Kemudian dia datang kepada rahib dan menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu rahib berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripadaku, engkau telah mencapai kedudukan sebagaimana yang kulihat, dan nanti engkau akan diuji. Jika engkau mendapatkan ujian, jangan sekali-kali menunjuk padaku.”
Pemuda itu pun dapat mengobati orang yang buta sejak lahir, orang yang berpenyakit sopak ataupun segala penyakit. Hal itu didengar oleh seorang pendamping raja yang buta. Dia pun mendatangi pemuda itu dengan membawa banyak hadiah, lalu berkata, “Semua yang di hadapanmu ini menjadi milikmu kalau engkau bisa menyembuhkanku.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah menyembuhkanmu.” Pendamping raja itu pun beriman dan Allah pun menyembuhkannya.
Pendamping raja itu kembali duduk di sisi raja sebagaimana biasanya. Sang raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” “Rabbku,” jawab pendamping raja. “Apakah engkau punya rabb selain aku?” tanya raja lagi. “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah,” jawabnya.
Sang raja pun menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai akhirnya pendamping raja itu menunjukkan si pemuda. Didatangkanlah pemuda itu dan dia mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah.” Mendengar itu, raja segera menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai pemuda itu menunjukkan si rahib. Didatangkan pula si rahib dan dikatakan padanya, “Keluar dari agamamu!” Rahib itu menolak. Raja meminta sebilah gergaji, lalu digergajilah tepat di tengah-tengah kepala rahib hingga terbelah dua badannya. Kemudian didatangkan pendamping raja dan dikatakan pula, “Keluar dari agamamu!” Akan tetapi dia menolak hingga digergaji tepat di tengah kepalanya sampai terbelah dua badannya.
Setelah itu didatangkan si pemuda dan dikatakan juga padanya, “Keluar dari agamamu!” Dia pun menolak, hingga raja menyerahkannya pada para pengawal, “Bawa dia naik ke gunung. Kalau kalian telah sampai di puncak, tawarkanlah kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia!” Mereka membawa pemuda itu naik ke gunung. Pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba gunung itu bergoncang dahsyat hingga para pengawal itu berjatuhan dari atas gunung. Pulanglah pemuda itu dengan berjalan kaki ke hadapan raja. Raja pun bertanya heran, “Apa yang mereka lakukan?” Jawab pemuda itu, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”
Kemudian raja kembali menyerahkannya pada pengawal, “Bawalah dia dengan perahu hingga ke tengah lautan, lalu tawarkan kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia ke lautan.” Mereka pun membawanya ke tengah lautan. Pemuda itu lalu berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba perahu itu terbalik hingga para pengawal raja tenggelam. Pemuda itu pulang ke hadapan raja dengan berjalan kaki. Raja bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?” Pemuda itu menjawab, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”
Pemuda itu berkata lagi, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai engkau laksanakan saranku.” “Apa itu?” tanya raja. “Engkau kumpulkan manusia di sebuah tanah lapang, dan engkau salib aku pada sebatang pohon. Lalu ambil sebuah anak panah dari tempat anak panahku dan letakkan di busur. Kemudian ucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini’ lalu panahlah. Kalau engkau lakukan ini, engkau akan bisa membunuhku.”
Raja segera mengumpulkan manusia di suatu tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada sebatang pohon. Lalu diambilnya anak panah dari tempatnya kemudian diletakkan di busurnya sambil berkata, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.” Dilontarkannya anak panah tepat mengenai dahi pemuda itu. Pemuda itu pun meletakkan tangannya di dahinya, di tempat sasaran anak panah, lalu meninggal.
Menyaksikan hal itu, manusia pun berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu!”
Disampaikanlah kepada raja, “Tidakkah engkau melihat apa yang engkau khawatirkan? Demi Allah, sungguh telah terjadi apa yang engkau takutkan. Manusia telah beriman.” Maka raja memerintahkan untuk dibuat parit besar di setiap pintu kota dan dinyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Barangsiapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lempar dan bakar dia di dalamnya!” Perintah itu pun segera dilaksanakan.
Suatu ketika, datang seorang wanita membawa anaknya yang masih kecil. Dia merasa bimbang untuk masuk ke dalam api. Tiba-tiba berucaplah sang anak, “Bersabarlah wahai ibu, sesungguhnya engkau di atas kebenaran.”
Inilah di antara banyak kisah yang memberikan gambaran tentang keadaan seorang mukmin yang senantiasa bersandar kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya. Semogalah tuturan ini memberikan bekas kebaikan yang tertanam dalam jiwa anak-anak.
Wallahu a’lamu bish shawab.

Kumpulan Artikel Islam Lengkap

Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan kerjakeras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum. Jadi logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.

Berikut ini index kumpulan artikel lepas yang dikumpulkan dari beberapa sumber terutama dikumpulkan dari milis di lingkungan ISNET.

Klik di sini